Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Kelana kemana

Kamu sudah jauh.      Manifestasi atau fantasi?  Yang jel as aku masih merindukanmu dalam kenaifan dan bodohku.  Terhitung 9 bulan setelah pernyataan tegasmu,  aku masih ingin kita yang dulu.  Kita yang asing namun berusaha bersanding.  Kamu yang penuh rasa penasaran d an aku yang tetap kamu beri semangat di momen terburukku.  Tidak menafikan, aku agak hina saat kemarin.  Menjual periode terburukku untuk dapat bersanding.  Adakah kesempatan kedua? Dengan aku yang lebih tegas dengan keputusanku, dengan kamu yang makin berjalan jauh. Jauh hingga tak tahu bagaimana caraku tuk membuat kepalamu menoleh sebentar.  Apa kabar, dek? Hanya itu energiku untuk sebatas tetap terhubung denganmu. Masih teringat harapanmu pada malam pergantian tahun kala itu, "Semoga masnya jadi lebih niat dan serius lagi ya." Sebuah harapan yang pada masa itu penuh kebimbangan. Waktu di mana aku belum tegas dengan arah kaki melangkah dan masih memandang kamu masih seidealis awal kita bersua.      Sekarang

Gagal

          Seorang manusia saat ia lahir akan memanggul beban untuk menjadi "orang" dalam beberapa masa setelahnya. Menjadi "orang", memiliki pandangan bahwa ia harus bisa menjadi individu yang sukses dan berhasil. Entah sukses dalam hal apa. Sejauh realita yang ada, sukses tersebut mencakup pada standar-standar yang telah ditetapkan dan disetujui secara tidak tertulis oleh sekelompok manusia sejak lama. Adanya label sukses, tentunya menghadirkan kata pembanding untuk menjadikan arti dari "sukses" tersebut ialah superior. Pembanding tersebut yakni gagal.  Terminologi gagal selalu memiliki formula:  tidak + kata berkonotasi positif ex. tidak berhasil, tidak tercapai, tidak jadi, dan tidak, tidak lainnya.           Kehadiran kata gagal , beserta konsep dan pengkotakannya. Membuat banyak pihak tidak ingin seseorang berdamai dengan kegagalan. Segala hal tentang kegagalan selalu dikemas dalam wadah "sukses yang tertunda", "sebuah proses hidup"

Krisis 1/4 Abad

Manusia, iya manusia Hidup di fase makhluk hidup sederhana telah berevolusi menjadi manusia dengan segala kerumitannya. Berabad-abad para pendahulu membentuk peradaban yang spektakuler yang tentunya mewariskan sesuatu. Ada dalam kognisi kita. Sebuah kebimbangan akan wujud dunia yang sebelumnya dianggap sebagai langkah pasti, menjadi semu. Dalam umur tertentu, manusia secara umum akan bimbang dalam hidupnya. Wajarkah? Atau memang  ini bagian  dari adaptasi  peradaban manusia sekarang? Kita saat masih kecil selalu bisa menciptakan miniatur kehidupan yang ideal. Bagaimana kita tersenyum terhadap apa yang kita cipta. Berposisi sebagai tuhan hingga akhirnya menabrak realita. Realita mengenai ideal yang kita cipta tidak bisa seluruhnya dihadirkan. Hanya individu dengan keistimewaan tertentu yang bisa dengan sadar dan tegun untuk tetap menjadi tuhan dalam dunianya. Berapa banyak? Sekilas yang terlihat hanya sedikit,sedikit-dikitnya. Lalu bagaimana kita (yang sudah waktunya) harus memposisikan

Entah

Mari kita renungkan sejenak. Hidup ini sebenarnya apa dan untuk apa. Adalah hal klasik dan mungkin membosankan jika manusia abad 21 kembali memikirkan esensi kehidupannya. Esensi hidup tak lagi menjadi biang utama untuk terlalu ditelaah seperti yang dilakukan oleh para pendahulu. Wajar? Iya wajar. Manusia sebagai makhluk evolutif, berarti ada perkembangan dalam usaha untuk memikirkan dinamika di sekitarnya. Bermula dari bagaimana manusia memandang alam semesta,  terhadap dirinya sendiri, lalu antara dia dan masyarakat, hingga manusia dengan kenyataan hari ini yang makin lama makin absurd. Pun jika kita mencoba memikirkan esensi hidup. Telah banyak pemikiran sebelumnya dari berbagai sudut pandang. Plato, Marx, Descartes dan para pemikir lainnya telah menjabarkan hakikat hidup dari apa yang mereka renungkan. Namun bagaimana dengan kita sendiri? Haruskah menjadi mereka? Pemikiran mereka tidak ada yang salah. Toh itu adalah sebuah karya intelektual hasil kontemplasi. Entah ini menjadi sebu