Kurang dari seminggu selepas pernyataanku kepadanya tentang aku yang selalu berharap perhatian-perhatian kecil untuk momen hidupku saat ini. Aku merasa tidak ada yang berubah. Memang, semua butuh proses. Manusia bergerak lambat untuk beradaptasi. Evolusi adalah tentang kepastian yang perlahan. Aku terlalu menggebu untuk mendapat yang kubutuhkan. Aku pun sadar posisinya saat ini yang sedang dalam kesibukan. Kesibukan yang tidak mau kuganggu. Karena menyangkut masa depannya terkait karier dan pendidikan. Beberapa hal yang benar-benar enggan kuganggu, walau menyangkut kepastian dari hubungan ini juga.
Sebenarnya aku ini membutuhkan afeksi darinya
atau
aku yang egois menuntut hal yang tidak bisa secepat kilat dia lakukan?
Jantungku sedari pagi berdetak dengan kencang. Kencang sehingga aku bingung harus melakukan apa hari ini. Kencang sehingga egoismeku muncul dan meledak.
Beberapa hari terakhir nafsu makanku sangat berkurang. Hal yang masuk ke tubuh tak lebih dari oksigen, asap rokok, serta air. Suara-suara lama itu muncul walau samar. Apakah aku benar-benar harus bunuh diri?
Pulang ke rumah?
Yang ada hanyalah nasihat-nasihat kristen yang sudah enggan ku untuk terikat di dalamnya. Afeksi dari keluarga sekadar afeksi berlandas ajaran kristen. Afeksi dari "manusia" kurang kurasakan sedari awal. Lalu berharap pada pasangan? Atau memang ini karmaku karena menyia-nyiakan afeksi dari yang lalu, pasanganku terdahulu itu. Jujur aku bingung aku ini benar-benar butuh atau hanya ego yang penuh nafsu?
Sekarang yang kupirkan hanyalah bagaimana mendapat antidepresan tanpa melalui serangkaian dialog dengan psikiater. Baiklah jika self diagnoses merupakan hal yang semu nan subjektif. Tapi apa salahnya mendapat ketenangan atau afeksi dari antidepresan?
Lari dari hiruk-pikuk hari ini nampaknya sia-sia. Karena yang bermasalah bukanlah fisik, atau pikiran yang bisa tervisualisasi. Tapi alam bawah sadar yang selalu mengganggu. Tolong binasakan ini. Aku pun enggan membicarakan ini ke khalayak. Karena, latar belakang apa hingga aku menjadi merasa "yang paling tersakiti"? Semua adalah salah dariku sendiri. Aku yang tidak cocok dengan alur semesta sebagai manusia. Kapan saatnya untuk ucapkan selamat tinggal pada Natanael? Aku ingin lekas pergi. Pergi entah kemana. Aku ingin akar dari permasalahanku ini segera dicabut. Aku benci untuk mengglorifikasikannya. Tapi bunuh diri, lagi dan lagi menjadi jawaban final.
Teruntuk Arlina, maafkan aku jika terlalu menuntut banyak. Aku hanya resah, resah yang justru membuatmu semakin merasa bodoh. Kamu tidak bodoh. Tidak ada yang bodoh. Semua hanya karena suara-suara dari kepalaku yang menjijikan untuk mendapat afeksi atau mungkin egoisme yang merepotkan banyak orang. Dunia tidak berputar dengan aku sebagai pusatnya. Ayolah sadarlah Natan! Kamu harus segera berubah. Tapi aku juga bingung harus mulai dari mana?
Surabaya, 14 April 2022
Pukul 22.12 WIB
Komentar
Posting Komentar